Translate This Site

Minggu, 06 Desember 2015

Singo Ulung sebagai Warisan Budaya Takbenda Nasional



Singo ulung, tarian khas Kabupaten Bondowoso tercatat di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia sebagai Warisan Budaya Takbenda Nasional dalam kategori upacara tradisional. Penetapan itu dilaksanakan pada 20 Oktober 2015 dengan tujuan agar kebudayaan Indonesia tidak diklaim oleh bangsa lain. Selain itu, penetapan ini dilakukan agar masyarakat daerah memiliki kepedulian terhadap pelestarian kebudayaan nasional.
 

Ritual singo ulung di Desa Blimbing, Kecamatan Klabang, Bondowoso
(foto: Oki)
Pada awalnya, singo ulung adalah sebuah ritual tarian dalam upacara adat ghâdhisa, yang dilaksanakan untuk menghormati pendiri Desa Blimbing, Kecamatan Klabang Kabupaten Bondowoso. Kemudian, ritual tarian ini dikemas menjadi seni pertunjukan bernama ronteg singo ulung dan dijadikan ikon Kabupaten Bondowoso. Tarian singo ulung dimainkan oleh dua penari laki-laki. Tarian  singo ulung memiliki gerakan yang hampir sama dengan kesenian barongsai dari China. Atraksi-atraksi yang dilakukan seperti menari, melompat, berdiri dengan satu kaki, saling menaiki, dll.

Kamis, 04 Juni 2015

Perjuangan Juk Seng, Pendiri Desa Blimbing, Tercermin dalam Tahap-tahap Upacara Adat Ghâdhisa


Bersih desa merupakan slametan atau upacara adat yang berasal dari kebudayaan Jawa dengan memberikan sesajen atau sajen kepada roh penjaga desa atau seorang tokoh yang telah membabat desa. Sajen yang diberikan berasal dari kewajiban setiap keluarga, berupa makanan, minuman, bunga-bungaan, dsb. Pada umumnya, bersih desa dilakukan oleh masyarakat untuk meminta keselamatan dan kemakmuran. Upacara bersih desa biasanya diadakan di tempat-tempat tertentu yang dianggap keramat atau suci, misalnya makam atau masjid.
 
Ritual olbhâk 
(foto: Oki)

Ghâdhisa sebagai bentuk upacara bersih desa di Desa Blimbing, Kecamatan Klabang, Kabupaten Bondowoso, dilaksanakan pada tanggal 14 dan 15 Syakban. Ghâdhisa di Desa Blimbing dilaksanakan dengan tujuan meminta keselamatan dan untuk mengenang jasa Juk Seng, selaku lelulur yang telah berjasa membangun desa. Bulan Syakban dalam upacara adat ghâdhisa bertepatan dengan bulan Ruwah dalam kalender Jawa. Kata ruwah konon berasal dari kata arwah atau roh para leluhur. Dari kata arwah inilah, bulan Ruwah diasosiasikan atau diindentikkan sebagai bulan untuk mengenang para leluhur.