Translate This Site

Kamis, 04 Juni 2015

Perjuangan Juk Seng, Pendiri Desa Blimbing, Tercermin dalam Tahap-tahap Upacara Adat Ghâdhisa


Bersih desa merupakan slametan atau upacara adat yang berasal dari kebudayaan Jawa dengan memberikan sesajen atau sajen kepada roh penjaga desa atau seorang tokoh yang telah membabat desa. Sajen yang diberikan berasal dari kewajiban setiap keluarga, berupa makanan, minuman, bunga-bungaan, dsb. Pada umumnya, bersih desa dilakukan oleh masyarakat untuk meminta keselamatan dan kemakmuran. Upacara bersih desa biasanya diadakan di tempat-tempat tertentu yang dianggap keramat atau suci, misalnya makam atau masjid.
 
Ritual olbhâk 
(foto: Oki)

Ghâdhisa sebagai bentuk upacara bersih desa di Desa Blimbing, Kecamatan Klabang, Kabupaten Bondowoso, dilaksanakan pada tanggal 14 dan 15 Syakban. Ghâdhisa di Desa Blimbing dilaksanakan dengan tujuan meminta keselamatan dan untuk mengenang jasa Juk Seng, selaku lelulur yang telah berjasa membangun desa. Bulan Syakban dalam upacara adat ghâdhisa bertepatan dengan bulan Ruwah dalam kalender Jawa. Kata ruwah konon berasal dari kata arwah atau roh para leluhur. Dari kata arwah inilah, bulan Ruwah diasosiasikan atau diindentikkan sebagai bulan untuk mengenang para leluhur.
Penggagas pertama upacara adat ghâdhisa adalah seseorang yang menganut kebudayaan Jawa. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya kebiasaan masyarakat Blimbing yang masih mengikuti kebudayaan Jawa. Kebiasaan masyarakat Jawa ketika memasuki bulan Ruwah ialah melakukan doa-doa di makam leluhur. Hal tersebut juga nampak ketika warga desa Blimbing melakasanakan ghâdhisa. Beberapa warga biasanya mengunjungi Makam Juk Seng untuk berdoa. Artinya, ghâdhisa merupakan upacara adat dalam bentuk bersih desa yang lahir dari kebudayaan Jawa.
Namun, ghâdhisa di Desa Blimbing saat ini telah mendapat pengaruh agama islam. Pelaksanaannya di bulan Syakban memiliki makna keislaman bagi masyarakat Blimbing. Bulan Syakban merupakan bulan kedelapan menurut perhitungan kalender Qamariyah. Letaknya diapit oleh dua bulan mulia, Rajab dan Ramadhan. Masyarakat Blimbing percaya bahwa pelaksanaan ghâdhisa di bulan Syakban dilakukan untuk membersihkan atau menyucikan diri sebelum memasuki bulan Ramadhan. Penetapan ghâdhisa pada tanggal 14 dan 15 diyakini oleh masyarakat Desa Blimbing sebagai hari paling mulia dalam bulan Syakban. Di antara tanggal 14 dan 15 Syakban, atau biasa disebut malam 15, merupakan malam yang sangat mulia, yakni malam Nisfu Syakban. Pada malam tersebut, diyakini oleh umat muslim sebagai malam pengampunan dosa. Oleh karena itu, penetapan pelaksaan ghâdhisa di Desa Blimbing erat dengan keistimewaan bulan Syakban.
Ghâdhisa di Desa Blimbing merupakan bentuk penghormatan terhadap jasa Juk Seng. Penghormatan yang dilakukan tampak pada setiap tahap-tahap pelaksanaan ghâdhisa. Tahap-tahap yang ada dalam ghâdhisa berlandaskan atas perjuangan Juk Seng beserta pengikutnya dalam membangun Desa Blimbing.
Juk Seng merupakan seorang tokoh yang suka bekerja keras serta bijaksana. Di sela-sela pekerjaan membangun desa, beliau selalu melakukan musyarawah dengan pengikutnya di suatu tempat yang dinamakan sangghâr. Oleh karena itu, dalam upacara adat ghâdhisa, diadakan ritual yang disebut dengan slametan sangghâr.
Setelah desa dibangun, Juk Seng beserta pengikutnya membuka ladang untuk digunakan sebagai sumber kehidupan sehari-hari. Pekerjaan membuka ladang diyakini oleh masyarakat Blimbing dimulai dari perempatan jalan yang disebut sebagai tapa’dândâng. Oleh karena itu, dalam upacara adat ghâdhisa, diadakan ritual yang disebut dengan slametan tapa’dândâng.  Istilah tapa’ memiliki arti ‘jejak’, sedangkan dândâng memiliki arti ‘periuk’ yang biasanya digunakan untuk menanak nasi. Artinya, istilah tapa’dândâng sangat erat kaitannya dengan proses pembuatan ladang pertanian yang dilakukan oleh Juk Seng.
Ketika pembuatan ladang selesai, diceritakan Juk Seng mencari sumber mata air ke arah hutan sengon di selatan perkampungan. Di sana Juk Seng menemukan mata air yang keluar dari dalam tanah, di dekat pohon nangghâr. Air yang menggenang hanya sedikit dan tidak cukup untuk mengairi ladang, sehingga Juk Seng menancapkan tongkatnya kepada mata air itu. Dengan tidak diduga-duga memancarlah mata dari dalam tanah. Setelah tongkat tersebut dicabut kembali, mengalirlah air yang sangat deras, yang kemudian disebut olbhâk (air yang keluar dari dalam tanah). Namun, air tersebut masih belum cukup untuk mengairi sawah yang begitu luas. Maka dari itu, Jasiman, sebagai wakil dan orang kepercayaan Juk Seng, melakukan semedi untuk mendapatkan petunjuk dari Yang Mahakuasa. Petunjuk berupa ilham tersebut berisikian perintah untuk melakukan ritual menesteskan darah ke atas tanah guna mendatangkan hujan. Akhirnya, didakanlah ritual ojhung. Atas dasar cerita inilah, di dalam upacara adat ghâdhisa diadakan slametan nagghâr, yang di dalamnya ada ritual olbhâk dan ojhung.
Secara keseluruhan, terdapat tiga langkah dalam pelaksanaan upacara adat ghâdhisa, yaitu (1) tahap persiapan, (2) tahap pelaksanaan hari pertama, dan (3) tahap pelaksanaan hari kedua. Tahap persiapan dilakukan pada tangal 13 Syakban. Tahap ini meliputi pemotongan sapi, pengumpulan saskolan atau bahan-bahan untuk sajen, dan pembuatan ancak atau tempat untuk meletakkan sajen yang terbuat dari pelepah pisang. Upacara adat ghâdhisa hari pertama dilaksanakan pada tanggal 14 Sya’ban. Bentuk acara pada hari pertama meliputi slametan sangghâr, slametan Asta Juk Seng, slametan tanian, slametan tapa’ dângdâng, dan pengajian. Upacara adat ghâdhisa hari kedua dilaksanakan pada tanggal 15 Sya’ban. Bentuk acara pada hari kedua meliputi hiburan rakyat (tarian singo ulung, topeng kona, tandhâ’bini’, dan jhârân kenca’), slametan nangghâr (ritual olbhâk, ritual tarian singo ulung, ritual tarian topeng kona, ritual tarian tandhâ’ bini’, dan ritual ojhung), slametan tanian, permainan rakyat tradisional (ke’-ke’an jherruk, arjhuân katta, lari balap karung, jem-ajeman), dan permainan ojhung.
Tahap-tahap dalam upacara adat ghâdhisa merupakan gambaran perjuangan Juk Seng beserta pengikutnya dalam membangun Desa Blimbing. Upacara adat ini memiliki fungsi meningkatkan perasaan solidaritas, yang ditunjukan dengan kekompakan warga Desa Blimbing dalam memenuhi kebutuhan penyelenggaraan ghâdhisa, dan memberikan kontrol sosial agar masyarakat menghormati jasa-jasa leluhur. Sebagai warga yang peduli terhadap kebudayaan, hendaknya upacara adat ghâdhisa tetap dijaga dan dilestarikan. Upacara adat ghâdhisa sebagai kebudayaan masyarakat Bondowoso patut  dijaga agar tidak tepengaruh oleh budaya asing sehingga keasliannya dapat diturunkan kepada generasi penerus. Upacara adat ghâdhisa yang diselenggarakan dengan meriah patut dilestarikan karena memiliki potensi sebagai daya tarik wisata sehingga dapat membantu pengembangan ekonomi masyarakat daerah.
(teks: Oki)

POJOK BAHASA: Teks Eksplanasi Sosial
  • Teks eksplanasi sosial adalah tulisan yang menjelaskan proses terjadinya peristiwa sosial.
  • Struktur teks eksplanasi sosial: pernyataan umum, deret penjelas, interpretasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar