Bersih desa merupakan slametan atau
upacara adat yang berasal dari kebudayaan Jawa dengan memberikan sesajen atau sajen kepada roh penjaga desa atau seorang tokoh yang telah
membabat desa. Sajen yang diberikan berasal dari kewajiban setiap keluarga,
berupa makanan, minuman, bunga-bungaan, dsb. Pada umumnya, bersih desa
dilakukan oleh masyarakat untuk meminta keselamatan dan kemakmuran. Upacara
bersih desa biasanya diadakan di tempat-tempat tertentu yang dianggap keramat
atau suci, misalnya makam atau masjid.
Ritual olbhâk
(foto: Oki)
Ghâdhisa sebagai bentuk upacara
bersih desa di Desa Blimbing, Kecamatan Klabang, Kabupaten Bondowoso,
dilaksanakan pada tanggal 14 dan 15 Syakban. Ghâdhisa
di Desa Blimbing dilaksanakan dengan tujuan meminta keselamatan dan untuk
mengenang jasa Juk Seng, selaku lelulur yang telah berjasa membangun desa. Bulan Syakban dalam upacara adat ghâdhisa bertepatan
dengan bulan Ruwah dalam kalender Jawa. Kata ruwah konon berasal dari kata arwah atau roh para leluhur. Dari kata arwah inilah, bulan Ruwah diasosiasikan atau diindentikkan sebagai
bulan untuk mengenang para leluhur.
Penggagas
pertama upacara adat ghâdhisa adalah seseorang
yang menganut kebudayaan Jawa. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya
kebiasaan masyarakat Blimbing yang masih mengikuti kebudayaan Jawa. Kebiasaan
masyarakat Jawa ketika memasuki bulan Ruwah ialah melakukan doa-doa di makam
leluhur. Hal tersebut juga nampak ketika warga desa
Blimbing melakasanakan ghâdhisa. Beberapa warga biasanya mengunjungi Makam Juk
Seng untuk berdoa. Artinya, ghâdhisa merupakan upacara adat dalam bentuk bersih
desa yang lahir dari kebudayaan Jawa.
Namun, ghâdhisa di Desa Blimbing saat ini telah mendapat pengaruh
agama islam. Pelaksanaannya di bulan Syakban memiliki makna keislaman bagi
masyarakat Blimbing. Bulan Syakban merupakan bulan
kedelapan menurut perhitungan kalender Qamariyah. Letaknya diapit oleh dua
bulan mulia, Rajab dan Ramadhan. Masyarakat Blimbing percaya
bahwa pelaksanaan ghâdhisa di bulan Syakban dilakukan untuk membersihkan atau
menyucikan diri sebelum memasuki bulan Ramadhan. Penetapan ghâdhisa pada
tanggal 14 dan 15 diyakini oleh masyarakat Desa Blimbing sebagai hari paling
mulia dalam bulan Syakban. Di antara tanggal 14 dan 15 Syakban, atau biasa
disebut malam 15, merupakan malam yang sangat mulia, yakni malam Nisfu Syakban. Pada malam tersebut, diyakini oleh umat muslim sebagai
malam pengampunan dosa. Oleh karena itu, penetapan pelaksaan ghâdhisa di Desa
Blimbing erat dengan keistimewaan bulan Syakban.
Ghâdhisa di Desa Blimbing merupakan bentuk penghormatan terhadap
jasa Juk Seng. Penghormatan yang dilakukan tampak pada setiap tahap-tahap
pelaksanaan ghâdhisa. Tahap-tahap yang ada dalam ghâdhisa berlandaskan atas
perjuangan Juk Seng beserta pengikutnya dalam membangun Desa Blimbing.
Juk Seng merupakan seorang tokoh yang suka bekerja keras serta
bijaksana. Di sela-sela pekerjaan membangun desa, beliau selalu melakukan
musyarawah dengan pengikutnya di suatu tempat yang dinamakan sangghâr. Oleh
karena itu, dalam upacara adat ghâdhisa, diadakan ritual yang disebut dengan slametan sangghâr.
Setelah desa dibangun, Juk Seng beserta pengikutnya membuka
ladang untuk digunakan sebagai sumber kehidupan sehari-hari. Pekerjaan membuka ladang diyakini oleh masyarakat Blimbing
dimulai dari perempatan jalan yang disebut sebagai tapa’dândâng. Oleh karena itu, dalam upacara adat ghâdhisa,
diadakan ritual yang disebut dengan slametan
tapa’dândâng. Istilah tapa’ memiliki arti ‘jejak’, sedangkan dândâng memiliki arti ‘periuk’ yang biasanya digunakan untuk
menanak nasi. Artinya, istilah tapa’dândâng
sangat erat kaitannya dengan proses pembuatan ladang pertanian yang
dilakukan oleh Juk Seng.
Ketika
pembuatan ladang selesai, diceritakan Juk Seng mencari sumber mata air ke arah
hutan sengon di selatan perkampungan. Di sana Juk Seng menemukan mata
air yang keluar dari dalam tanah, di dekat pohon nangghâr. Air yang menggenang hanya sedikit dan tidak cukup untuk
mengairi ladang, sehingga Juk Seng menancapkan tongkatnya kepada mata air itu.
Dengan tidak diduga-duga memancarlah mata dari dalam tanah. Setelah tongkat
tersebut dicabut kembali, mengalirlah air yang sangat deras, yang kemudian
disebut olbhâk (air yang keluar dari
dalam tanah). Namun, air tersebut masih belum cukup untuk mengairi sawah yang
begitu luas. Maka dari itu, Jasiman, sebagai wakil dan orang kepercayaan Juk
Seng, melakukan semedi untuk mendapatkan petunjuk dari Yang Mahakuasa. Petunjuk
berupa ilham tersebut berisikian perintah untuk melakukan ritual menesteskan
darah ke atas tanah guna mendatangkan hujan. Akhirnya, didakanlah ritual ojhung. Atas dasar cerita inilah, di
dalam upacara adat ghâdhisa diadakan slametan nagghâr, yang di dalamnya ada ritual
olbhâk dan ojhung.
Secara keseluruhan, terdapat tiga langkah dalam pelaksanaan upacara
adat ghâdhisa, yaitu (1) tahap persiapan, (2) tahap pelaksanaan hari pertama,
dan (3) tahap pelaksanaan hari kedua. Tahap persiapan dilakukan pada tangal 13
Syakban. Tahap ini meliputi pemotongan sapi,
pengumpulan saskolan atau bahan-bahan
untuk sajen, dan pembuatan ancak atau tempat untuk meletakkan sajen yang terbuat dari pelepah pisang. Upacara adat ghâdhisa hari pertama dilaksanakan pada tanggal
14 Sya’ban. Bentuk acara pada hari pertama meliputi slametan sangghâr, slametan Asta Juk Seng, slametan tanian, slametan tapa’ dângdâng,
dan pengajian. Upacara adat ghâdhisa hari kedua dilaksanakan pada tanggal 15 Sya’ban. Bentuk
acara pada hari kedua meliputi hiburan rakyat (tarian singo ulung,
topeng kona, tandhâ’bini’, dan jhârân kenca’), slametan nangghâr (ritual olbhâk, ritual tarian singo ulung,
ritual tarian topeng kona, ritual tarian
tandhâ’ bini’, dan ritual ojhung), slametan tanian, permainan rakyat
tradisional (ke’-ke’an jherruk,
arjhuân katta, lari balap karung, jem-ajeman),
dan permainan ojhung.
Tahap-tahap dalam
upacara adat ghâdhisa merupakan gambaran
perjuangan Juk Seng beserta pengikutnya dalam membangun Desa Blimbing. Upacara
adat ini memiliki fungsi meningkatkan perasaan solidaritas, yang ditunjukan
dengan kekompakan warga Desa Blimbing dalam memenuhi kebutuhan penyelenggaraan ghâdhisa, dan memberikan kontrol sosial agar
masyarakat menghormati jasa-jasa leluhur. Sebagai warga yang peduli terhadap
kebudayaan, hendaknya upacara adat ghâdhisa
tetap dijaga dan dilestarikan. Upacara adat ghâdhisa
sebagai kebudayaan masyarakat Bondowoso patut
dijaga agar tidak tepengaruh oleh budaya asing sehingga keasliannya
dapat diturunkan kepada generasi penerus. Upacara adat ghâdhisa
yang diselenggarakan dengan meriah patut dilestarikan karena memiliki potensi
sebagai daya tarik wisata sehingga dapat membantu pengembangan ekonomi
masyarakat daerah.
(teks: Oki)
POJOK BAHASA: Teks Eksplanasi Sosial
- Teks eksplanasi sosial adalah tulisan yang menjelaskan proses terjadinya peristiwa sosial.
- Struktur teks eksplanasi sosial: pernyataan umum, deret penjelas, interpretasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar