Ojhung
(foto: Oki)
Ritual Ojhung yang merupakan salah satu tahap dalam
upacara adat Ghâdhisa di Desa Blimbing, Kecamatan Klabang, Kabupaten
Bondowoso, memiliki cerita asal-usul yang juga erat kaitannya dengan
pembangunan Desa Blimbing. Ojhung yang dilakukan di nangghâr, dilakukan
warga untuk menghormati jasa Juk Seng dalam memakmurkan masyarakat Blimbing.
Ritual tersebut selalu dilaksanakan setiap tahun meskipun dianggap memiliki
unsur kekerasan bagi sebagian orang. Cerita asal-usul ritual Ojhung erat
kaitannya dengan pelaksanaan upacara adat Ghâdhisa. Upacara adat yang
dilaksanakan setiap tanggal 14 dan 15 Sya’ban ini bertujuan untuk mengenang dan
menghormati jasa Juk Seng yang telah membangun Desa Blimbing.
Cerita mengenai kesaktian dan perjuangan Juk Seng dalam
membangun desa Blimbing menjadi dasar dalam pelaksanaan upacara adat Ghâdhisa.
Tahap-tahap dalam upacara adat Ghâdhisa merupakan proyeksi dari setiap
bagian cerita perjuangan Juk Seng. Masyarakat Blimbing yang sangat menghormati
Juk Seng, menjadikan upacara adat Ghâdhisa sangat sakral dan wajib
dilakukan tiap tahun. Sebagai bentuk penghormatan dan pengingat jasa-jasa Juk
Seng, diadakan beberapa bentuk ritual dan kesenian yang sangat erat kaitannya
dengan perjuangan Juk Seng, salah satunya ialah Ojhung.
Diceritakan, bahwa Juk Seng adalah seorang prajurit kerajaan
Blambangan yang melakukan pelarian karena pada waktu itu kerajaan Blambangan
dikuasai oleh kerajaan Majapahit. Juk Seng dan istrinya, Moena, ingin bebas
dari perintah dan tekanan-tekanan punggawa Majapahit. Mereka berdua berkelana
siang dan malam ke arah barat; keluar masuk hutan, menuruni lembah curam,
mendaki gunung dan bukit; dan kadangkala harus mempertaruhkan nyawanya
bertarung dengan binatang buas.
Kemudian, di tengah perjalanannya, Juk Seng menemukan daerah
baru yang cocok dibangun perdikan atau daerah perkampungan. Namun, di
daerah tersebut telah tinggal seorang kesatria bernama Jasiman beserta
pengikutnya dengan jumlah sekitar 20 keluarga. Bagi Juk Seng, dengan penghuni
yang cukup banyak tersebut sudah dapat dijadikan modal dalam membangun tanah
perdikan. Pada akhirnya, tercapailah satu permufakatan, bahwa Juk Seng bersama
isterinya berkenan menetap di daerah hutan itu bersama-sama Jasiman.
Mengetahui bahwa Juk Seng memiliki ilmu kesaktian, maka Mbah
Jasiman merasa tertantang untuk menjajal kesaktian dari Juk Seng. Untuk
membuktikan siapa yang paling sakti, mereka pun akhirnya bertarung. Namun,
mereka berdua memiliki kemampuan bertarung yang seimbang, sehingga tidak ada
yang kalah dan menang dalam pertarungan tersebut. Ketika Jasiman mengetahui
bahwa Juk Seng mempunyai ilmu yang melebihi darinya, ia pun mengakui bahwa Juk
Seng lebih pantas menjadi pemimpin di antara kelompok itu.
Juk Seng merupakan seorang tokoh yang suka bekerja keras
serta bijaksana. Di sela-sela pekerjaan membangun desa, beliau selalu melakukan
musyarawah dengan pengikutnya di suatu tempat yang dinamakan sangghâr. Oleh
karena itu, dalam upacara adat Ghâdhisa, diadakan ritual yang disebut
dengan slametan sangghâr.
Setelah desa dibangun, Juk Seng beserta pengikutnya membuka
ladang untuk digunakan sebagai sumber kehidupan sehari-hari. Pekerjaan membuka
ladang diyakini oleh masyarakat Blimbing dimulai dari perempatan jalan yang
disebut sebagai tapa’dândâng. Oleh karena itu, dalam upacara adat Ghâdhisa,
diadakan ritual yang disebut dengan slametan tapa’dândâng. Istilah
“tapa’” memiliki arti “jejak”, sedangkan “dândâng” memiliki arti
“periuk” yang biasanya digunakan untuk menanak nasi. Artinya, istilah tapa’dândâng
sangat erat kaitannya dengan proses pembuatan ladang pertanian yang
dilakukan oleh Juk Seng.
Ketika pembuatan ladang selesai, diceritakan Juk Seng
mencari sumber mata air ke arah hutan sengon di selatan perkampungan. Di sana
Juk Seng menemukan mata air yang keluar dari dalam tanah, di dekat pohon nangghâr.
Air yang menggenang hanya sedikit dan tidak cukup untuk mengairi ladang,
sehingga Juk Seng menancapkan tongkatnya kepada mata air itu. Dengan tidak
diduga-duga memancarlah mata dari dalam tanah dan setelah tongkat tersebut
dicabut kembali, mengalirlah air yang sangat deras, yang kemudian disebut “olbhâk”
(air yang keluar dari dalam tanah). Namun, air tersebut masih belum cukup untuk
mengairi sawah yang begitu luasnya. Maka dari itu, Jasiman, sebagai wakil dan
orang kepercayaan Juk Seng, melakukan semedi untuk mendapatkan petunjuk dari
Yang Mahakuasa. Ia kemudian mendapat ilham yang berisikian perintah untuk
melakukan ritual menesteskan darah ke atas tanah guna mendatangkan hujan.
Akhirnya, didakanlah ritual Ojhung. Atas dasar cerita inilah, di dalam
upacara adat Ghâdhisa diadakan slametan nagghâr, yang di dalamnya
ada ritual olbhâk dan Ojhung.
Adanya cerita mengenai asal-usul Ojhung, memberikan
asalan mengenai pentingnya ritual tersebut harus dilakukan. Selain sebagai
upaya dalam melestarikan kebudayaan daerah, penyelenggaraan Ojhung juga
bermaksud untuk menghormati jasa-jasa pahlawan, terutama Juk Seng yang telah
membangun desa Blimbing. Menghormati jasa Juk Seng artinya berterima kasih
dengan cara menjaga dan merawat apapun yang telah diwariskan olehnya, terutama
ritual Ojhung dalam upacara adat Ghâdhisa.
(teks: Oki)
POJOK BAHASA: Teks Tanggapan Kritis
- Teks tanggapan kritis adalah tulisan yang memuat tanggapan terhadap fenomena yang terjadi di sekitar dengan disertai fakta dan alasan.
- Struktur teks tanggapan kritis: evaluasi, deskripsi teks, dan penegasan ulang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar