Translate This Site

Minggu, 08 Januari 2017

Mengapa Harus Ada Ojhung?



 Ojhung
 (foto: Oki)

Ritual Ojhung yang merupakan salah satu tahap dalam upacara adat Ghâdhisa di Desa Blimbing, Kecamatan Klabang, Kabupaten Bondowoso, memiliki cerita asal-usul yang juga erat kaitannya dengan pembangunan Desa Blimbing. Ojhung yang dilakukan di nangghâr, dilakukan warga untuk menghormati jasa Juk Seng dalam memakmurkan masyarakat Blimbing. Ritual tersebut selalu dilaksanakan setiap tahun meskipun dianggap memiliki unsur kekerasan bagi sebagian orang. Cerita asal-usul ritual Ojhung erat kaitannya dengan pelaksanaan upacara adat Ghâdhisa. Upacara adat yang dilaksanakan setiap tanggal 14 dan 15 Sya’ban ini bertujuan untuk mengenang dan menghormati jasa Juk Seng yang telah membangun Desa Blimbing.
Cerita mengenai kesaktian dan perjuangan Juk Seng dalam membangun desa Blimbing menjadi dasar dalam pelaksanaan upacara adat Ghâdhisa. Tahap-tahap dalam upacara adat Ghâdhisa merupakan proyeksi dari setiap bagian cerita perjuangan Juk Seng. Masyarakat Blimbing yang sangat menghormati Juk Seng, menjadikan upacara adat Ghâdhisa sangat sakral dan wajib dilakukan tiap tahun. Sebagai bentuk penghormatan dan pengingat jasa-jasa Juk Seng, diadakan beberapa bentuk ritual dan kesenian yang sangat erat kaitannya dengan perjuangan Juk Seng, salah satunya ialah Ojhung.
Diceritakan, bahwa Juk Seng adalah seorang prajurit kerajaan Blambangan yang melakukan pelarian karena pada waktu itu kerajaan Blambangan dikuasai oleh kerajaan Majapahit. Juk Seng dan istrinya, Moena, ingin bebas dari perintah dan tekanan-tekanan punggawa Majapahit. Mereka berdua berkelana siang dan malam ke arah barat; keluar masuk hutan, menuruni lembah curam, mendaki gunung dan bukit; dan kadangkala harus mempertaruhkan nyawanya bertarung dengan binatang buas.
Kemudian, di tengah perjalanannya, Juk Seng menemukan daerah baru yang cocok dibangun perdikan atau daerah perkampungan. Namun, di daerah tersebut telah tinggal seorang kesatria bernama Jasiman beserta pengikutnya dengan jumlah sekitar 20 keluarga. Bagi Juk Seng, dengan penghuni yang cukup banyak tersebut sudah dapat dijadikan modal dalam membangun tanah perdikan. Pada akhirnya, tercapailah satu permufakatan, bahwa Juk Seng bersama isterinya berkenan menetap di daerah hutan itu bersama-sama Jasiman.
Mengetahui bahwa Juk Seng memiliki ilmu kesaktian, maka Mbah Jasiman merasa tertantang untuk menjajal kesaktian dari Juk Seng. Untuk membuktikan siapa yang paling sakti, mereka pun akhirnya bertarung. Namun, mereka berdua memiliki kemampuan bertarung yang seimbang, sehingga tidak ada yang kalah dan menang dalam pertarungan tersebut. Ketika Jasiman mengetahui bahwa Juk Seng mempunyai ilmu yang melebihi darinya, ia pun mengakui bahwa Juk Seng lebih pantas menjadi pemimpin di antara kelompok itu.
Juk Seng merupakan seorang tokoh yang suka bekerja keras serta bijaksana. Di sela-sela pekerjaan membangun desa, beliau selalu melakukan musyarawah dengan pengikutnya di suatu tempat yang dinamakan sangghâr. Oleh karena itu, dalam upacara adat Ghâdhisa, diadakan ritual yang disebut dengan slametan sangghâr.
Setelah desa dibangun, Juk Seng beserta pengikutnya membuka ladang untuk digunakan sebagai sumber kehidupan sehari-hari. Pekerjaan membuka ladang diyakini oleh masyarakat Blimbing dimulai dari perempatan jalan yang disebut sebagai tapa’dândâng. Oleh karena itu, dalam upacara adat Ghâdhisa, diadakan ritual yang disebut dengan slametan tapa’dândâng.  Istilah “tapa’” memiliki arti “jejak”, sedangkan “dândâng” memiliki arti “periuk” yang biasanya digunakan untuk menanak nasi. Artinya, istilah tapa’dândâng sangat erat kaitannya dengan proses pembuatan ladang pertanian yang dilakukan oleh Juk Seng.
Ketika pembuatan ladang selesai, diceritakan Juk Seng mencari sumber mata air ke arah hutan sengon di selatan perkampungan. Di sana Juk Seng menemukan mata air yang keluar dari dalam tanah, di dekat pohon nangghâr. Air yang menggenang hanya sedikit dan tidak cukup untuk mengairi ladang, sehingga Juk Seng menancapkan tongkatnya kepada mata air itu. Dengan tidak diduga-duga memancarlah mata dari dalam tanah dan setelah tongkat tersebut dicabut kembali, mengalirlah air yang sangat deras, yang kemudian disebut “olbhâk” (air yang keluar dari dalam tanah). Namun, air tersebut masih belum cukup untuk mengairi sawah yang begitu luasnya. Maka dari itu, Jasiman, sebagai wakil dan orang kepercayaan Juk Seng, melakukan semedi untuk mendapatkan petunjuk dari Yang Mahakuasa. Ia kemudian mendapat ilham yang berisikian perintah untuk melakukan ritual menesteskan darah ke atas tanah guna mendatangkan hujan. Akhirnya, didakanlah ritual Ojhung. Atas dasar cerita inilah, di dalam upacara adat Ghâdhisa diadakan slametan nagghâr, yang di dalamnya ada ritual olbhâk dan Ojhung.
Adanya cerita mengenai asal-usul Ojhung, memberikan asalan mengenai pentingnya ritual tersebut harus dilakukan. Selain sebagai upaya dalam melestarikan kebudayaan daerah, penyelenggaraan Ojhung juga bermaksud untuk menghormati jasa-jasa pahlawan, terutama Juk Seng yang telah membangun desa Blimbing. Menghormati jasa Juk Seng artinya berterima kasih dengan cara menjaga dan merawat apapun yang telah diwariskan olehnya, terutama ritual Ojhung dalam upacara adat Ghâdhisa.

(teks: Oki)


POJOK BAHASA: Teks Tanggapan Kritis
  • Teks tanggapan kritis adalah tulisan yang memuat tanggapan terhadap fenomena yang terjadi di sekitar dengan disertai fakta dan alasan. 
  • Struktur teks tanggapan kritis: evaluasi, deskripsi teks, dan penegasan ulang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar