Bulan Rebbe merupakan bulan ke-8 menurut perhitungan suku madura, pada
bulan ini masyarakat Bondowoso khususnya di daerah Tapen, Klabang dan Prajekan mempunyai
acara rutin yang dinamakan Gadhisa.
Gedhisa yang merupakan bentuk acara slametan
desa dilaksanakan dengan tujuan
menjaga desa agar tetap selamat dan aman dari hal-hal yang tidak diinginkan. Hal
ini merupakan acara tahunan yang harus dilaksanakan oleh warga desa. Warga desa
biasanya mengadakan acara tersebut pada malam jum’at pon. Pada acara tersebut warga desa wajib membuat makanan khas yang
terbuat dari beras ketan, namanya ialah tapay
palotan.
Sehari setelah acara slametan, terdapat suatu ritual adat
yang sangat ditunggu-tunggu oleh warga desa. Ritual tersebut ialah Ojung. Suatu ritual adat warisan nenek
moyang yang tetap dipertahankan sampai saat ini, bahkan antusiasme terhadap
ritual tersebut tidak hanya datang dari warga lokal, tetapi warga lain datang
berbondong-bondong untuk mengikuti atau hanya untuk menontonnya saja. Ritual
ini dilakukan oleh nenek moyang untuk meminta hujan pada Yang Maha Kuasa.
Karena pada saat memasuki bulan Rebbe, musim
kemarau biasanya melanda daerah ini. Oleh karena itu, ritual Ojung digunakan sebagai do’a bersama
untuk menurunkan hujan.
Ojhung di Desa Mangli Wetan, Bondowoso
(foto: Oki)
Ritual ini hanya dilakukan oleh
laki-laki dewasa yang memiliki keberanian dan mental yang kuat karena bentuk
ritualnya sagatlah extreme dan
menakutkan. Ritual ini juga bisa
disebut sebagai ajang lomba olahraga tradisional yang hanya terdapat di daerah
Tapen dan sekitarnya. Dua orang laki-laki berlomba saling mencambuk satu sama lain dengan menggunakan
sebilah rotan. Dua orang tersebut berlomba untuk saling melumpuhkan lawan
dengan memberikan luka cambuk sebanyak-banyaknya pada lawan mereka.
Aturan pertandingannya sangatlah
sederhana. Setiap pertandingan hanya terdiri dari 2 orang peserta saja.
Kemudian terdapat seorang wasit, dua orang pemberi tanda luka, dan dua orang
lagi sebagai pendamping masing-masing peserta pertandingan. Yang diperlukan
untuk pertandingan hanyalah sebidang tanah lapang berukuran persegi, 2 buah
kayu rotan, 2 buah kopiah, 2 buah odheng (ikat
kepala orang madura), dan penanda luka (spidol).
Setiap pertandingan terdapat 3 ronde.
Dalam tiap ronde, setiap peserta berhak memukul lawan hanya dengan satu kali
cambukan, dan berhak menghindar dengan cara melangkah ke belakang apabila akan
mendapat serangan. Setiap peserta diwajibkan membuka baju dan wajib mengenakan
kopiah serta odheng yang diikatkan
bukan dikepala, melainkan dipinggang. Pada saat mencambuk, peserta hanya boleh
mencambuk lawannya pada bagian leher, dada, perut, lengan atas dan punggung. Setiap
luka yang dihasilkan dari cambukannya berarti poin kemenangan baginya. Semakin banyak
luka yang dihasilkan dari cambukannya, semakin banyak pula poin yang didapat.
Pemenang akan mendapatkan hadiah atas kegigiahannya dalam berduel, dan peserta
yang kalah juga akan mendapatkan hadiah walaupun tidak sebagus hadiah pemenang.
Setelah usai pertandingan pertama, akan dilanjutkan pertandinagan-pertandingan
selanjutnya dengan peserta yang berbeda namun tetap dalam aturan yang sama.
Ojhung dengan pemain cilik
(foto: Oki)
Ojhung dengan pemain cilik
(foto: Oki)
Dulu peserta pertandingan ini hanya
dilakukan oleh laki-laki dewasa berumur sekitar 21 – 60 tahun. Namun kini, anak
kecil dan remaja berumur 10 – 20 tahun banyak yang mengikuti pertandingan ini.
Dengan ikutnya para generasi muda dalam pertandingan Ojung, akan membuat tradisi nenek moyang yang ada sejak zaman dulu
ini akan tetap lestari dan jauh dari kepunahan. Berani mencoba?
(teks: Oki)
POJOK BAHASA: Teks Tanggapan Deskriptif
- Teks tanggapan deskriptif adalah tulisan yang meggambarkan tanggapan penulis mengenai suatu hal.
- Struktur teks tanggapan deskriptif: identifikasi, klasifikasi, dan deskripsi bagian.
mator sakalangkong atas reportase yang menarik ini....jangan berhenti menulis....el sis
BalasHapusokeee pak bozzz
Hapusijin share gan...
BalasHapusokeee gannn :)
Hapus